01.53

hati vs otak

Saya masih tak tertarik dengan komitmen. Trauma saya dibuatnya. Dari awal saya mulai berhubungan dengan lelaki, saya tak pernah tertarik dengan komitmen. Bagi saya komitmen itu tak ada gunanya. Sama sekali tak ada gunanya.
Suatu waktu dalam hidup saya, untuk pertama kalinya saya temukan lelaki yang bikin saya merasa jadi perempuan seutuhnya: cengeng, dan berhati. Ya, berhati, mempunyai hati. Percaya pada hati. Padahal tak pernah saya percaya pada hati. Hati selalu membuat realita menjadi bias, bayangannya pun tak kelihatan jika hati sudah berdiri menantang. Saya lebih memuja otak, yang selalu membawa saya pada jalan yang benar. Jika sudah otak yang memutuskan, saya tak pernah menyesal menjalani sesuatu. Tidak seperti saat saya berhati. Saya menyesali, sampai saat ini.
Hati yang menggoda saya untuk percaya padanya, dan dengan bodohnya saat itu saya ikut saja. Hati merasa saya cinta pada lelaki itu, lalu berbisik pada saya untuk memulai sesuatu yang baru, membujuk saya agar pelan-pelan merubah mind-set yang selama ini dikuasai otak, memanggil harapan untuk berkolaborasi membius saya.....untuk berkomitmen.
Saya pasrah saat itu, saya ingat benar, hati tertawa. Mengubah background hidup saya yang tadinya hanya hitam, putih dan merah (simbol yin, yang, plus fearless menurut saya) menjadi penuh warna dan bunga. Saya bahagia. Berterima kasih pada hati yang bisa berbuat sedemikian indah pada hidup. Tak menyangka, sama sekali tak menyangka ada banyak warna lain dalam dunia.
Tapi...
ketika kenyataan tiba2 muncul, menunjukkan pada saya bahwa ada perempuan lain yang meratui hidup lelaki saya saat itu, hati membuat saya sakit! Hati bikin saya menangis berjam-jam, diam tak bergerak bermenit-menit, kesakitan merasakan akibat perbuatannya pada saya. Lalu harapan, yang tadinya selalu bersama hati, hilang pergi begitu saja. Melepas semua tanggung jawab yang sudah diperbuatnya. Saya tak sempat menoleh padanya, tak sempat saya perhatikan, apakah harapan meninggalkan saya sambil tertawa keras, mensyukuri saya yang terperdaya.

Saya tak mau lagi percaya pada hati. Tak akan! Tak juga akan memberikan kesempatan pada harapan untuk mengujungi saya meski hanya untuk sekedar menyapa. Huh! Tak usah saja. Saya akan baik saja dengan otak dan realita. Saya tak mau tertipu untuk kali kedua.

....kemarin, ada lelaki yang mengajak saya berkomitmen. Saya lihat ada hati dan harapan tersenyum manis bersamanya. Saya langsung muak. Bukan karena lelaki itu, tapi karena melihat senyuman hati dan harapan. Saya usir mereka, saya tak mau berjumpa.
Entah apa yang dirasakan lelaki itu saat saya bilang tak mau berkomitmen dengannya. Yang penting, saya masih bersamanya. Tanpa hatipun, saya bisa bahagia.

0 comments: