21.14

bersyukur = menyerah

1 April 2010

Teman saya bilang, “jalani dengan senang hati, semua itu amanah. Jangan menyerah, bersyukur, dan bersyukur. Mending capek kerja daripada capek cari kerja.”
Huh. Kesan saya membaca imel dari teman saya itu kok negative semua ya. Pertama, dia tahu bahwa saya naik jabatan 7 bulan yang lalu dengan janji kenaikan gaji yang melimpah. 7 bulan saya menunggu, berusaha sabar dan berusaha keras untuk mengerti mengapa perusahaan harus menahan hak kompensasi jabatan dan tanggung jawab baru saya begitu lama. Tapi bulan ini ketika saya menerima slip gaji baru, kenaikan gaji yang saya bayangkan dan kenyataan yang tertera pada slip gaji, tidak matching. Sama sekali tidak matching.
Saya kecewa. Marah.
Tidak ada penjelasan yang bikin saya puas tentang kenaikan gaji yang tidak sesuai itu. Tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terlanjur. Saya terlanjur berada di jabatan ini, gaji baru sudah terlanjur masuk ke payroll, terlanjur mimpi, terlanjur berharap banyak. Lalu apa yang dilakukan orang gila yang menjanjikan saya bergaji banyak waktu itu? Tidak ada. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut jijiknya, tidak untuk membesarkan hati saya, tidak untuk memberi penjelasan mengapa gaji saya cuma segitu naiknya, tidak juga meminta maaf telah membohongi dan membodohi saya. Tidak ada satupun yang ia lakukan. Yeah, rite. Sumpah, saya ingin memuntahi mukanya yang seperti jamban itu.
Keadaannya seperti itu. Lalu teman saya bilang saya harus bersyukur karena yang saya jalani adalah amanah?? Amanahnya siapa??
Gila..
Seakan-akan dia menyuruh saya untuk menyerah pada keadaan. Tak mungkin saya pasrah dengan ketidakadilan. Kalau orang lain ingin pasrah, tidak berbuat apa-apa namun tidak bisa berhenti menggerutu pada kawan-kawannya, lalu menyebutnya dengan bersyukur, ya terserah. Saya sih, tidak.
Saya bersyukur atas kesempatan yang diberikan. Naik jabatan, berarti belajar menghadapi tantangan dan tanggung jawab baru yang lebih berat. Belajar pula tentang hal-hal baru yang ditemui. Belajar pula untuk miskin. Edaann.. Selama 7 bulan kemarin, saya benar-benar miskin. Menunggu gaji naik sambil mengirit. Tak pernah bersenang-senang, tak pernah beli kopi dimall, dijauhi pula oleh teman-teman karena tak pernah gabung bergaul. Saya pikir itu semua saya lakukan demi gaji baru yang menggiurkan, demi gengsi jabatan oke yang diikuti dengan kekayaan.
Ha-ha-ha.
Ketika mimpi tak mau merubah title-nya menjadi nyata, saya kecewa. Ketika janji menjauh perlahan dari kenyataan, saya marah. Sangat marah. Dan ketika teman-teman menuduh saya tidak bersyukur ketika saya bilang ingin cari kerjaan lain, saya ingin mereka segera masuk ke neraka. Enak saja menyuruh orang untuk menyerah pada ketidakadilan. Mereka pikir saya sama seperti mereka? Tidak punya cita-cita, berjalan mengikuti arus, tak punya pendirian, tak tau harus berbuat apa lagi selain menerima yang sudah dijalani. Huh. Dan mereka menyebut diri mereka laki-laki??
Banci.
Saya masih punya mimpi. Saya masih punya cita-cita. Saya masih mampu untuk meraihnya. Jika tempat kerja saya tidak bisa membantu saya untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, saya yakin ada tempat lain yang menunggu untuk saya datangi.
Guys, teman-teman pembaca, mungkin ada yang pernah atau sedang mengalami ketidakadilan ditempat kerja seperti saya. Listen to me, jangan sampai ada orang lain yang menghambat dirimu untuk maju. Jangan menyerah pada keadaan! Tiap orang harus punya tujuan hidup. Jangan cuma bikin tujuan: berguna bagi nusa dan bangsa. Tai! Basi! Bikin tujuan yang spesifik, rencanakan caranya untuk terwujud. Gagal itu biasa, segera bangun dan lari lagi jika impian belum tercapai. Ga usah mengomentari something yang kita belum tau pasti sebabnya. Ga usah cari pembenaran dengan mengompori orang lain untuk berfikir yang sama dengan kita. If you want some, come get some! Make your own rules, guys! Come on!

2 comments:

green-bluez mengatakan...

bagus salute sama kamu....,

utte mengatakan...

kalo pujiannya tulus, saya harus bilang: banyak terimakasiiih.. :)