22.04

Just another story..


Teman saya memutuskan untuk menjadi selingkuhan. Orang ketiga dalam pernikahan. Merusak rumah tangga orang. Lalu ia merasa dirinya adalah korban. Korban perselingkuhan.

Berulang kali saya coba memahami jalan pikirannya, tetap saja tak bisa sama sekali saya mengerti, bagaimana seorang selingkuhan merasa menjadi korban? Sejak mengenal lelaki itu, teman saya sudah tau statusnya. Saat memutuskan untuk berpacaran pun teman saya tetap sudah tau lelaki itu punya istri. Saat bercinta pun teman saya tau kelamin lelaki itu pernah ada didalam rahim istrinya hingga anaknya tiga. Kapan dia dianiaya sehingga merasa dirinya adalah korban perselingkuhan?

Menurut saya, tidak ada yang bisa ditolerir dari para pendusta rumah tangga. Yang berselingkuh, maupun selingkuhannya, apapun alasannya. Saya pernah begitu penasaran dengan dunia selingkuh ini. Dulu ayah saya berselingkuh, punya perempuan diluar rumah. Saya berusaha memahami mengapa ayah membutuhkan perempuan lain selain ibu? Lalu mengapa seorang perempuan mau menjadi selingkuhan? Apa yang ia dapatkan dengan menjadi orang lain dalam pernikahan? Ketika tak juga menemukan jawaban yang memuaskan, saya memutuskan untuk mencoba sendiri, menjadi perempuan yang tak tau diri, mencari lelaki yang sudah beristri, menggodanya hingga menuruti. Menggodanya hingga saya menjadi seorang selingkuhan murni.

Tak ada hal positif yang saya dapatkan ketika itu. Uang dan barang-barang menarik? Ya. Perhatian berlebihan sepanjang waktu ketika istrinya tak disampingnya? Ya. Bangga karena merasa menjadi orang yang lebih penting dari keluarganya? Ya, sesaat, selebihnya hingga sekarang saya sadar itu bukanlah rasa bangga, tapi bodoh. Sesuatu yang positif yang bisa menimbulkan pembenaran dari perbuatan itu? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Saya hanya membahagiakan orang yang tidak seharusnya bahagia, lelaki yang berpikiran gila, melupakan istri dan anak hanya untuk senyum dan perhatian palsu dari saya. Palsu, karena saya hanya ingin mencoba menjadi orang ketiga. Palsu karena saya tak mencintainya. Palsu karena saya tau saya dan dia adalah salah. Amat salah.

Saya salah karena menggoda lalu membuat seorang lelaki melupakan kewajiban terbesar dalam hidupnya, tanggung jawabnya terhadap keluarga, janjinya terhadap Tuhan untuk menjaga dan mengayomi istri dan anaknya. Dia salah karena membiarkan dirinya tergoda oleh saya, lalu lupa dengan kewajiban terbesar dalam hidupnya, lupa dengan istri dan anaknya. Kami salah. Karena itu saya menghentikannya.

Suatu hari teman saya mengaku dirinya hamil, mengandung calon bayi lelaki itu. Dengan panik dia berkata “Gimana ini say? Apa kata orang jika mereka tau aku hamil tanpa suami? Apa kata orang jika nanti anakku lahir tanpa ayah?”

Dengan enteng saya menjawab “Lha kemarin-kemarin tidak malu berpacaran dengan lelaki beristri dan beranak tiga? Mengapa sekarang harus malu?”

Teman saya marah “dia harus bertanggung jawab! Dia harus menjadikanku istri sahnya!”

Kembali saya tak mengerti, seorang selingkuhan yang ingin diberi arti. Ingin menempeli diri dengan label yang diambil dengan paksa dari perempuan lain yaitu sang istri. Astaghfirullah hal adzim, amit-amit jabang bayi. Saya mengingatkan teman itu bahwa kehamilannya adalah kesalahan mereka berdua, harusnya tanggung jawab pun dilakukan berdua, bukan hanya marah dan menuntut sang pria untuk berbuat sesuatu untuknya.

Hari demi hari dilalui teman saya dengan marah menuntut untuk dinikahi, sedang sang lelaki melalui hari dengan pergi, menghilang, muncul sebentar, lalu pergi lagi. Begitu seterusnya hingga bayi dalam kandungan teman saya gugur dengan sendirinya. Lalu apa yang terjadi? Bukannya mengkoreksi diri, teman saya justru semakin gencar melabeli diri. Menyebut dan menganggap dirinya orang paling malang didunia ini, korban perselingkuhan yang tak bisa ia hindari. Memaksa dan mencerca, mencaci dan memohon, menghujat sang lelaki, tapi minta dinikahi. Minta dinikahi. Memohon, mengancam, meminta dengan paksaan, untuk dinikahi. Oleh lelaki yang masih punya istri. Lelaki ayah tiga anak tak bersalah yang selalu menunggu dirumah.

Saya semakin tak mengerti, dimana dia punya hati? Bagaimana bisa teman saya itu menyebut dirinya sebagai koban, lalu memaksa lelaki beristri dan beranak tiga untuk meninggalkan keluarganya hanya untuk menikahinya? Dimana dia punya otak? Punyakah dia otak? Atau paling tidak harga diri? Atau rasa bersalah? Atau rasa berdosa?

Apakah dia manusia?

0 comments: