07.19

suatu hari nanti.

Suatu hari nanti aku akan jadi seorang pemberani. Berani untuk berkata "sudah, selesai.". Suatu hari nanti aku pasti mewujudkannya. Aku ingin bahagia. Bagun pagi dengan senyum di wajah. Memulai hari dengan semangat yang timbul karena happy, bukan semata karena kopi. Aku ingin kerutan di dahiku ini hilang, sampai nanti memang waktunya ia berkerut karena usia. Bukan karena derita. Suatu hari nanti aku akan menatap mata anakku dengan cinta yang penuh lalu berkata mantab, "mama berdoa supaya kamu selalu bahagia menikmati hidup, seperti mama". Suatu saat nanti aku pasti bisa bangga dengan diriku sendiri. Benar-benar bangga karena akhirnya aku menemukan jalan yang tepat, dan berani memilih jalan tersebut untuk berbahagia.

22.04

Just another story..


Teman saya memutuskan untuk menjadi selingkuhan. Orang ketiga dalam pernikahan. Merusak rumah tangga orang. Lalu ia merasa dirinya adalah korban. Korban perselingkuhan.

Berulang kali saya coba memahami jalan pikirannya, tetap saja tak bisa sama sekali saya mengerti, bagaimana seorang selingkuhan merasa menjadi korban? Sejak mengenal lelaki itu, teman saya sudah tau statusnya. Saat memutuskan untuk berpacaran pun teman saya tetap sudah tau lelaki itu punya istri. Saat bercinta pun teman saya tau kelamin lelaki itu pernah ada didalam rahim istrinya hingga anaknya tiga. Kapan dia dianiaya sehingga merasa dirinya adalah korban perselingkuhan?

Menurut saya, tidak ada yang bisa ditolerir dari para pendusta rumah tangga. Yang berselingkuh, maupun selingkuhannya, apapun alasannya. Saya pernah begitu penasaran dengan dunia selingkuh ini. Dulu ayah saya berselingkuh, punya perempuan diluar rumah. Saya berusaha memahami mengapa ayah membutuhkan perempuan lain selain ibu? Lalu mengapa seorang perempuan mau menjadi selingkuhan? Apa yang ia dapatkan dengan menjadi orang lain dalam pernikahan? Ketika tak juga menemukan jawaban yang memuaskan, saya memutuskan untuk mencoba sendiri, menjadi perempuan yang tak tau diri, mencari lelaki yang sudah beristri, menggodanya hingga menuruti. Menggodanya hingga saya menjadi seorang selingkuhan murni.

Tak ada hal positif yang saya dapatkan ketika itu. Uang dan barang-barang menarik? Ya. Perhatian berlebihan sepanjang waktu ketika istrinya tak disampingnya? Ya. Bangga karena merasa menjadi orang yang lebih penting dari keluarganya? Ya, sesaat, selebihnya hingga sekarang saya sadar itu bukanlah rasa bangga, tapi bodoh. Sesuatu yang positif yang bisa menimbulkan pembenaran dari perbuatan itu? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Saya hanya membahagiakan orang yang tidak seharusnya bahagia, lelaki yang berpikiran gila, melupakan istri dan anak hanya untuk senyum dan perhatian palsu dari saya. Palsu, karena saya hanya ingin mencoba menjadi orang ketiga. Palsu karena saya tak mencintainya. Palsu karena saya tau saya dan dia adalah salah. Amat salah.

Saya salah karena menggoda lalu membuat seorang lelaki melupakan kewajiban terbesar dalam hidupnya, tanggung jawabnya terhadap keluarga, janjinya terhadap Tuhan untuk menjaga dan mengayomi istri dan anaknya. Dia salah karena membiarkan dirinya tergoda oleh saya, lalu lupa dengan kewajiban terbesar dalam hidupnya, lupa dengan istri dan anaknya. Kami salah. Karena itu saya menghentikannya.

Suatu hari teman saya mengaku dirinya hamil, mengandung calon bayi lelaki itu. Dengan panik dia berkata “Gimana ini say? Apa kata orang jika mereka tau aku hamil tanpa suami? Apa kata orang jika nanti anakku lahir tanpa ayah?”

Dengan enteng saya menjawab “Lha kemarin-kemarin tidak malu berpacaran dengan lelaki beristri dan beranak tiga? Mengapa sekarang harus malu?”

Teman saya marah “dia harus bertanggung jawab! Dia harus menjadikanku istri sahnya!”

Kembali saya tak mengerti, seorang selingkuhan yang ingin diberi arti. Ingin menempeli diri dengan label yang diambil dengan paksa dari perempuan lain yaitu sang istri. Astaghfirullah hal adzim, amit-amit jabang bayi. Saya mengingatkan teman itu bahwa kehamilannya adalah kesalahan mereka berdua, harusnya tanggung jawab pun dilakukan berdua, bukan hanya marah dan menuntut sang pria untuk berbuat sesuatu untuknya.

Hari demi hari dilalui teman saya dengan marah menuntut untuk dinikahi, sedang sang lelaki melalui hari dengan pergi, menghilang, muncul sebentar, lalu pergi lagi. Begitu seterusnya hingga bayi dalam kandungan teman saya gugur dengan sendirinya. Lalu apa yang terjadi? Bukannya mengkoreksi diri, teman saya justru semakin gencar melabeli diri. Menyebut dan menganggap dirinya orang paling malang didunia ini, korban perselingkuhan yang tak bisa ia hindari. Memaksa dan mencerca, mencaci dan memohon, menghujat sang lelaki, tapi minta dinikahi. Minta dinikahi. Memohon, mengancam, meminta dengan paksaan, untuk dinikahi. Oleh lelaki yang masih punya istri. Lelaki ayah tiga anak tak bersalah yang selalu menunggu dirumah.

Saya semakin tak mengerti, dimana dia punya hati? Bagaimana bisa teman saya itu menyebut dirinya sebagai koban, lalu memaksa lelaki beristri dan beranak tiga untuk meninggalkan keluarganya hanya untuk menikahinya? Dimana dia punya otak? Punyakah dia otak? Atau paling tidak harga diri? Atau rasa bersalah? Atau rasa berdosa?

Apakah dia manusia?

21.22

Girl power..! (oh so last year)

Dua atau tiga hari yg lalu, koran lokal bikin halaman baru, halaman khusus perempuan katanya. Isinya? Profil perempuan, resep masakan, konsultasi dokter tentang masalah perempuan, gossip selebritis, dan tulisan-tulisan amatir dari mahasiswi-mahasiswi pembaca tentang…..gender.
Well, sebagian besar rubrik yg terdapat dihalaman tersebut sudah terdapat dihalaman koran setiap hari, sebelum-sebelumnya. Mereka hanya memindahkan letaknya saja, mengelompokkan rubrik yg mereka anggap “untuk perempuan”, kemudian menambahkan kata-kata yang dianggap akan membuat perempuan bangga jika membacanya. Oh God..
Penuh dengan tulisan “memuji” perempuan, saya heran. Bukankah agak sedikit (sedikit?) terlambat untuk membuat puji-pujian berlebihan untuk perempuan semacam itu?
“…memedulikan perempuan tidak boleh musiman. Harus terus menerus tanpa henti”
“sebab sesungguhnya laki-laki sangat perlu belajar tentang perempuan. Supaya bisa lebih ‘pink’ dan lebih bisa memahami kelompok masyarakat yang lebih besar dari mereka.”
Dan yang paling bikin saya geli,
“ selama ini, kalau dipikir-pikir, perempuan dianggap sebagai ‘sebuah segmen’. Artinya, sudut pandang koran masih laki-laki banget karena melihat perempuan dari ‘seberang’, sebagai sebuah segmen.” (jadi halaman yang mengelompokkan hal-hal yang mereka anggap berbau perempuan menjadi satu, lalu memberi judul dengan font berwarna merah jambu, bukan segmenkah?)
Ah, please.. Tidakkah mereka tahu jika di negara ini sudah banyak koran yang mengkhususkan diri membahas resep, gossip, profil, dan lainnya? Bahkan dengan karyawan dan bos yang tidak harus perempuan. Tidakkah mereka tahu bahwa didunia ini, perempuan sudah tak perlu lagi dijunjung dengan kata-kata agar mereka “sadar” jika mereka istimewa? Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka anggap “baru” itu adalah sebenarnya basi?
Geli saya membaca rubrik-rubriknya, ditambah kata-kata pengantar dari sang pimpinan. Berlebihan. Belum lagi tulisan-tulisan amatir yang dimuat, sebagian besar adalah tentang perbedaan gender. Oh please (lagi), masih perlukah mengekspos para perempuan yang mengasihani diri sendiri karena mereka “perempuan”? No, Stop it! Kalau masih ada yang merasa tertindas-karena-saya-perempuan, please deh… We’ve learned, years ago, to do something instead of meratapi nasib dan mengembangkan emosi jiwa sebagai bentuk permisivitas sebagai perempuan. Kami sudah tidak perlu lagi membanggakan diri dengan berteriak-teriak “kami bisa kok seperti laki-laki”. If we want some, we just come and get some!
Well, what I’m saying is, kami perempuan sudah tak perlu lagi dikelompokkan. Kami bisa kok, membaur dengan tulisan-tulisan yang dianggap “milik laki-laki” itu. Membaca koran setiap hari, halaman-halaman yang sama dengan yang dibaca para lelaki, itu bukan problem bagi kami. Karena kami sama, kami setara. Tak perlu melabeli kami dengan warna “pink”, tak ada warna spesifik untuk menggambarkan siapa kami. Sama seperti setiap individu, tak peduli apa jenis kelaminnya. Bebas saja, bisa merah, putih, hitam, ungu, terserah.
So, bikin halaman khusus perempuan sih sah-sah saja, asal jangan berlebihan. Istilah “girl power” bagi kami sudah terngiang sejak tahunan yang lalu. Kami pun sudah menerapkannya sejak entah berapa tahun yang lalu. Jadi, biasa saja lah. Tak perlu mengatas namakan perempuan untuk mengelompokkan rubrik resep masakan dan gossip selebriti, sama seperti tak ada tulisan “khusus laki-laki” pada halaman olah raga atau otomotif. Jangan menulis tentang persamaan gender jika masih merasa terbedakan. Basi.

02.55

ingin..

Ingin membunuhnya
Lalu menyimpan tubuhnya hanya untuk saya..
Menyimpan hatinya ditempat rahasia
Tak ada yang tau kecuali saya…
Membelah otaknya, mengurai isinya
Lalu isi ulang penuh-penih dengan: saya.
Biar tak ada lagi yang bisa dipikirkannya
Selain saya.
Apa yang bisa saya lakukan
Agar dia merasa seperti yang saya rasa
Kecuali dengan membunuhnya,
Menyimpan tubuhnya,
Menyembunyikan hatinya,
Lalu mengisi ulang otaknya
dengan Saya..

saya benci melihatmu beramanya!
..kamu seharusnya disini, bersama saya…

21.14

bersyukur = menyerah

1 April 2010

Teman saya bilang, “jalani dengan senang hati, semua itu amanah. Jangan menyerah, bersyukur, dan bersyukur. Mending capek kerja daripada capek cari kerja.”
Huh. Kesan saya membaca imel dari teman saya itu kok negative semua ya. Pertama, dia tahu bahwa saya naik jabatan 7 bulan yang lalu dengan janji kenaikan gaji yang melimpah. 7 bulan saya menunggu, berusaha sabar dan berusaha keras untuk mengerti mengapa perusahaan harus menahan hak kompensasi jabatan dan tanggung jawab baru saya begitu lama. Tapi bulan ini ketika saya menerima slip gaji baru, kenaikan gaji yang saya bayangkan dan kenyataan yang tertera pada slip gaji, tidak matching. Sama sekali tidak matching.
Saya kecewa. Marah.
Tidak ada penjelasan yang bikin saya puas tentang kenaikan gaji yang tidak sesuai itu. Tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Semua sudah terlanjur. Saya terlanjur berada di jabatan ini, gaji baru sudah terlanjur masuk ke payroll, terlanjur mimpi, terlanjur berharap banyak. Lalu apa yang dilakukan orang gila yang menjanjikan saya bergaji banyak waktu itu? Tidak ada. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut jijiknya, tidak untuk membesarkan hati saya, tidak untuk memberi penjelasan mengapa gaji saya cuma segitu naiknya, tidak juga meminta maaf telah membohongi dan membodohi saya. Tidak ada satupun yang ia lakukan. Yeah, rite. Sumpah, saya ingin memuntahi mukanya yang seperti jamban itu.
Keadaannya seperti itu. Lalu teman saya bilang saya harus bersyukur karena yang saya jalani adalah amanah?? Amanahnya siapa??
Gila..
Seakan-akan dia menyuruh saya untuk menyerah pada keadaan. Tak mungkin saya pasrah dengan ketidakadilan. Kalau orang lain ingin pasrah, tidak berbuat apa-apa namun tidak bisa berhenti menggerutu pada kawan-kawannya, lalu menyebutnya dengan bersyukur, ya terserah. Saya sih, tidak.
Saya bersyukur atas kesempatan yang diberikan. Naik jabatan, berarti belajar menghadapi tantangan dan tanggung jawab baru yang lebih berat. Belajar pula tentang hal-hal baru yang ditemui. Belajar pula untuk miskin. Edaann.. Selama 7 bulan kemarin, saya benar-benar miskin. Menunggu gaji naik sambil mengirit. Tak pernah bersenang-senang, tak pernah beli kopi dimall, dijauhi pula oleh teman-teman karena tak pernah gabung bergaul. Saya pikir itu semua saya lakukan demi gaji baru yang menggiurkan, demi gengsi jabatan oke yang diikuti dengan kekayaan.
Ha-ha-ha.
Ketika mimpi tak mau merubah title-nya menjadi nyata, saya kecewa. Ketika janji menjauh perlahan dari kenyataan, saya marah. Sangat marah. Dan ketika teman-teman menuduh saya tidak bersyukur ketika saya bilang ingin cari kerjaan lain, saya ingin mereka segera masuk ke neraka. Enak saja menyuruh orang untuk menyerah pada ketidakadilan. Mereka pikir saya sama seperti mereka? Tidak punya cita-cita, berjalan mengikuti arus, tak punya pendirian, tak tau harus berbuat apa lagi selain menerima yang sudah dijalani. Huh. Dan mereka menyebut diri mereka laki-laki??
Banci.
Saya masih punya mimpi. Saya masih punya cita-cita. Saya masih mampu untuk meraihnya. Jika tempat kerja saya tidak bisa membantu saya untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu, saya yakin ada tempat lain yang menunggu untuk saya datangi.
Guys, teman-teman pembaca, mungkin ada yang pernah atau sedang mengalami ketidakadilan ditempat kerja seperti saya. Listen to me, jangan sampai ada orang lain yang menghambat dirimu untuk maju. Jangan menyerah pada keadaan! Tiap orang harus punya tujuan hidup. Jangan cuma bikin tujuan: berguna bagi nusa dan bangsa. Tai! Basi! Bikin tujuan yang spesifik, rencanakan caranya untuk terwujud. Gagal itu biasa, segera bangun dan lari lagi jika impian belum tercapai. Ga usah mengomentari something yang kita belum tau pasti sebabnya. Ga usah cari pembenaran dengan mengompori orang lain untuk berfikir yang sama dengan kita. If you want some, come get some! Make your own rules, guys! Come on!

23.46

gombal warning!

Sepi, Sayang..

Lihat aku, Sayangku.. Lihat apa yg cinta telah lakukan padaku. Ntah dari mana cinta berguru hingga tak terkalahkan senjata dan ilmu. Dahsyat ia menyerangku, bertubi-tubi panahnya menghunjam jantung hatiku. Berliter-liter air wanginya menyirami tubuhku. Ditiupinya wajahku dengan anginnya sehingga ku tak merasa gerah akan sinarnya yg benderang menyinari wajahku. Hingga tak terlihat apapun disekelilingku kecuali kamu. Kamu. Hanya kamu.

Aku suka rasanya, Sayang. Ketika cinta membawamu mendekat kepadaku. Tak bisa terlukis senyumku ketika itu. Seluas langit rasanya. Apakah kau melihatnya, Sayang? Apakah kau melihatku segembira aku setiap melihatmu?

Aku kangen, Sayang.

Jangan suruh aku menjadi kuat, karena aku lemah tanpamu. Jangan harapkan apa-apa dariku kecuali cinta itu, yang berlebih-lebih kusiapkan untukmu. Yang tak akan kumal meski kau pakai setiap waktu. Yang tak akan habis meski kau gunakan semaumu. Yang tak akan hilang meski tak kau kunci di tempat aman.

Selalu ada untukmu.

Aku kangen, Sayang...


20 Oktober 2009

23.42

about some sex

It’s gonnabe all about s.e.x

Tadi sore seorang kawan yang istrinya sedang hamil 3 bulan bercerita, ia digoda. Yeah, dia bilang dia digoda. Oleh perempuan janda, yang sudah lama tak bersama pria. Seru sekali ceritanya, seperti ia belum pernah berbuat yang seperti itu dengan istrinya yang 3 bulan hamil dibuatnya.
“lidahnya ada disini saya” katanya menunjuk ke telinganya.
Saya hanya tertawa.

Teringat sahabat saya, yang dulu jumpa dengan seorang pria. Lalu tergoda. Yeah, dia bilang dia tergoda. Oleh lelaki ganteng pula kaya. Yang istrinya sedang hamil 7 bulan. Seru sekali ceritanya, seperti mereka belum pernah bertindak yang seperti itu dengan siapapun sebelumnya. Hingga tak ingin mengingat ada yang dirumah. Sedang hamil 7 bulan menantinya.
“Kau sudah coba hotel yang disana itu? Bagus ternyata” dia mengawali ceritanya.
Saya tertawa, sambil merinding dibuatnya.

Lalu teman saya yang lain (iya, saya memang punya banyak teman), dia memang penggoda. Digodanya seorang pria, yang kemudian mengaku jika ia punya istri dirumah, yang sedang hamil, sudah 5 bulan masanya. Tidak terlalu seru ceritanya, hampir sama saja dengan kisahnya bersama pria-pria hidung belang lainnya. Hanya saja kali ini adalah seorang pria, yang istrinya sedang hamil, 5 bulan masanya.
“Lumayan lah, Say.. Aku mau dibayarin liburan ke Bali. Kamu mau ikut?”
Saya tertawa. Kali ini terbahak-bahak dibuatnya.

Temannya sahabat saya, seorang pria beranak dua. Bertemu dengan perempuan cantik jelita. Istrinya sekarang jelek, katanya. Gendut, tak enak dipandang, apalagi ditiduri diranjang. Lalu dia dan perempuan baru itu saling goda. Lumayan seru ceritanya. Seperti kembali ke masa dahulu kala, ujarnya. Seperti belum pernah jumpa dengan istri jelek dan anak-anaknya.
“Aku sayang padanya”
Saya tak bisa tertawa. Teringat nasib yang sama. Dulu juga dialami Ibu saya.

Seorang perempuan, saya lupa dia siapa. Bukan penggoda, tak sengaja menggoda. Yeah, dia mengakui jika dia yang memang menggoda. Meskipun tak sengaja, katanya. Lelaki yang kebetulan istrinya sedang hamil juga. Dari bulan kelima, berlanjut hingga ketujuh, lalu delapan. Seru sekali ceritanya, apalagi saat hati turut serta. Semuanya dilakukan seperti kala pertama saja. Mana mau mengingat apalagi berfikir, tentang sang istri yang sedang hamil.
“Pas bangeeet. Seperti botol yang berjumpa dengan tutupnya. Kami pasti jodoh dalam dunia sex”
Saya tertawa.

Lalu tersenyum, dan lagi tertawa.

Saya ingat dia siapa.

..itu saya!



(2 November 2009, dikamar Kos.. 20.07.. Terinspirasi dari cerita Mas Ketut tadi sore… Hehehehehe)